Bismillah...

Hamas


Akar sejarah Hamas dapat dilacak hingga gerakan Ikhwanul Muslimin, yang didirikan pada 1928 oleh seorang guru sekolah di Mesir, Hassan Al-Banna (1906-1949). Popularitas Ikhwanul Muslimin menyebar dengan cepat di Mesir dan tetangganya, Palestina, di mana cabang Ikhwanul Muslimin pertama didirikan setelah Perang Dunia Kedua.

Namun, eksodus warga Palestina 1948-1949, dan selanjutnya administrasi Mesir di Jalur Gaza, mengakibatkan Ikhwanul Muslimin mengalami penurunan. Pada tahun 1954 bentrokan antara Ikhwanul Muslimin melawan orang yang semakin populer di Mesir, Gamal Abdul-Nasser, memuncak hingga gerakan ini dilarang, membuat Ikhwanul Muslimin bergerak di bawah tanah sampai tahun 1967.

Kekalahan Arab dalam perang 1967 melawan Israel mendiskreditkan kampanye nasionalisme Arab milik Nasser dan melemahkan harapan Arab Palestina terhadap kemampuan negara-negara Arab untuk membebaskan Palestina.

Sebagai akibat wajar dari kekalahan Arab terhadap Israel adalah meningkatkan daya tarik revolusi Islam sebagai alternatif yang kredibel bagi kegagalan nasionalisme Arab, dan dengan demikian menciptakan lingkungan yang rentan bagi kebangkitan kembali Ikhwanul Muslimin Palestina. Selain itu, penggantian pemerintahan Mesir di Gaza dengan pendudukan Israel pada tahun 1967 secara ironis bekerja menurut cara Ikhwanul Muslimin, sejak Israel sebagian besar acuh tak acuh terhadap Ikhwanul Muslimin yang dianggapnya sebagai aktivisme religius yang apolitis.

Dalam konteks ini, Ikhwanul Muslimin, dipimpin oleh Syekh Ahmad Yassin, memulai sebuah ‘kebangkitan Islam’ yang bertujuan untuk merehabilitasi masyarakat Palestina melalui proses bertahap secara bottom-up yang melibatkan proses reformasi pendidikan dan pelatihan dari para anggotanya.

Yang signifikan adalah Ikhwanul Muslimin memilih untuk membatasi aktivisme ini bidang sosial dan keagamaan, dengan alasan bahwa ummat (masyarakat) hanya akan siap untuk terlibat dalam perang pembebasan terhadap Israel setelah proyek rehabilitasi Islam sudah lengkap.

Strategi Ikhwanul Muslimin dengan pembentukan generasi baru Palestina ini tercermin dalam perkembangan masyarakat mahasiswa Islam dan peningkatan jumlah masjid di Tepi Barat dan Gaza.

Meskipun demikian, strategi apolitis Ikhwanul Muslimin tidak berhubungan dengan sentimen populer masyarakat Palestina, yang sebagian besar menyukai keterlibatan militer Fatah dan upaya politis untuk persoalan Palestina.

Pada awal 1980-an kredibilitas strategi non-konfrontatif Ikhwanul Muslimin ini sangat dilemahkan oleh peristiwa-peristiwa regional, terutama Revolusi Islam Iran (1978-1979), yang memperkuat paradigma Islamis garis keras dan mempengaruhi Ikhwanul Muslimin yang lebih muda usia dengan tekad untuk efek perubahan melalui revolusi dan perlawanan daripada perjuangan bertahap melalui strategi bottom-up. Kecemasan internal di tubuh Ikhwanul Muslimin serta kelambanan politik menyebabkan banyak dari para anggotanya menyatakan keluar Ikhwanul Muslimin dan memilih aliran yang lebih proaktif terhadap agenda revolusioner sebagian pemikir awal yang paling berpengaruh, yaitu Sayyid Quthb (1906-1966).

Keengganan Ikhwanul Muslimin untuk mengubah strategi akhirnya memicu rasa frustrasi beberapa anggota untuk memisahkan diri dari gerakan dan membentuk Jihad Islam pada tahun 1980.

Tekanan internal untuk memasuki perjuangan politik-militer melawan Israel itu makin diperbesar oleh perjuangan gerilyawan Hizbullah melawan pendudukan Israel atas Libanon Selatan selama tahun 1980-an, yang berfungsi sebagai model yang kuat untuk mempengaruhi perubahan efektif dalam konflik Israel-Palestina.

Pada tahun 1987, ketidakpuasan internal terhadap kebijakan Ikhwanul Muslimin mengarah pada pembentukan Hamas, sebagai sayap politik-militer Persaudaraan Palestina. Hamas diambil sebagai tujuan langsung pembebasan bersejarah Palestina yang komprehensif melalui perjuangan/jihad di mana perlawanan bersenjata merupakan dasar—meskipun tidak berarti satu-satunya—strategi melawan pendudukan Israel. Keterlibatan gerakan militer dengan Israel menjadi lebih jelas setelah pembentukan sayap militer, Brigade Izzeddin Al-Qassam, pada tahun 1992. Secara signifikan, selain dari kecenderungan politik/militer, Hamas tidak menghentikan upaya bottom-up yang bertahap, dan sedikit digabungkan dengan perlawanan militer dan politik. Dengan kata lain, ideologi Hamas muncul sebagai sebuah penggabungan gaya pendekatan reformis bottom-up versi al-Banna dan strategi revolusioner Quthb yang lebih proaktif.

Pembentukan dan pertumbuhan Hamas memiliki dampak yang nyata pada popularitas Fatah selama 1980-an dan 1990-an, namun ini tidak cukup signifikan untuk meruntuhkan dominasi Fatah dalam politik Palestina.

Ini adalah upaya untuk mengubah secara dramatis letusan Intifada Al-Aqsa (pemberontakan) pada September 2000, di mana setelah itu popularitas Hamas vis-à-vis Fatah meningkat secara dramatis. Pergeseran dalam keseimbangan kekuatan ini tercermin pada tahun 2006 pada pemilihan Dewan Legislatif Palestina (PLC), di mana Hamas memenangkan kursi cukup untuk mengakhiri masa kuasa panjang Fatah dari kepemimpinan Otoritas Palestina (PA). Meskipun Hamas memenangkan kursi cukup untuk membentuk pemerintahan mayoritas, dalam hal suara populer pada kenyataannya Fatah memenangkan 41 persen, dibandingkan dengan Hamas yang memenangkan 44 persen suara populer. Tidak berbeda jauh. Popularitas Hamas dengan demikian tidak tertandingi, meski Fatah jelas masih menikmati tingkat dukungan rakyat yang signifikan.

Namun, fakta ini tidak mengaburkan kesimpulan utama dari artikel ini, yaitu bahwa sejak tahun 1987 Hamas telah mengubah dirinya menjadi aktor yang sangat penting dalam peta politik Palestina, dan berhasil dalam menghadirkan diri untuk masyarakat Palestina sebagai alternatif yang kredibel selain Fatah.[]

--------
Sumber :
nuansaislam.com
muslimnews.co.uk