Bismillah...

Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis) Palestina. Gerakan ini menitik beratkan pada perjuangan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan melalui tegaknya Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (penting dicatat, ini bukan/beda dengan Syeh Yusuf Annabhani, ulama’ sunni), seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.

Perkembangan Hizbut Tahrir berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrikan seperi Libya, Mesir, Sudan Aljazair. Juga ke Eropa menjangkau Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.

Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia sekita tahun 1980-an dengan dakwah terfokus di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Namun pada era tahun 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui dakwah aktifitas di masjid, perkantoran, perusahaan, perumahan.

  • Pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat yang mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga berpendapat bahwa semua Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits Ahad meskipun shohih, hanya membuahkan Dhon dan semua Dhon tidak bisa diimani (haram diimani).

  • Di bidang akidah, mereka cenderung berpaham Qodariyah, paham yang menganggap manusia bisa menentukan sendiri keinginannya tanpa terikat ketentuan Allah.Dalam kitab As-Syakhshiyah Al-Islamiyah juz I bab Al qadha’ wal qodar (cet. Darul Ummah hal 94-95) Taqiyuddin berkata : “Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam Qadla.”
  • Pada As-Syakhshiyah Al-Islamiyah juz I bab Alhuda wad Dlolal (cet. Darul Ummah hal 98) penulis menyatakan “Jadi mengaitkan adanya pahala sebagai balasan bagi kebaikan dan siksa sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan adalah murni perbuatan manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah.”
  •  Tidak mau terikat kepada salah satu dari madzhab empat – Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali – dan lebih mendahulukan ijtihad mereka sendiri, mereka juga tidak mengakui ijma’ sebagai dasar hukum selain ijma’ sahabat. ” Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenanya, maka menggali hukum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapa pun, dan mudah bagi siapa pun, apalagi setelah mempunyai kitab lughot ( tata bahasa arab ) dan fiqh islam.” At-Tafkir hal. 149
Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :
  • “Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.  (SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).

  •  “… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan). (Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)
  • “….Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…” , Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan : DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak. Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani pada tahun 1973 di Jakarta.Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.
-----------
asepmaulana.wordpress.com
mantanht.wordpress.com